Masih ingatkah
Anda dengan tragedi pesawat Lion Air JT 610 rute Jakarta-Pangkal Pinang yang
jatuh di Perairan Karawang pada tahun 2018? Pesawat ini lepas landas dari
Bandara Soekarno-Hatta pada pukul 06.20 WIB. Tiba-tiba saja pesawat ini hilang
dari radar ATC (Air Traffic Controller) setelah sebelumnya sempat melaporkan kepada
petugas menara kontrol bahwa pesawat mengalami masalah pada kontrol penerbangan
dan kru meminta izin untuk kembali ke Bandara Soekarno Hatta. Namun pesawat ini
diduga jatuh di Perairan Tanjung Karawang pada pukul 06.32 WIB, dengan kata
lain hanya berselisih waktu 12 menit setelah pesawat lepas landas. Pesawat ini
menghantam lautan dengan kecepatan 340 knot atau 629,68 km/jam dan mencapai 189
angka kematian.
Pihak Boeing mengatakan akan turut
serta bekerja sama dalam investigasi bersama dengan KNKT. Berdasarkan film dokumenter downfall, kita dapat mengetahui bahwa sebenarnya pihak boeing
mengatakan bahwa Kru Penerbangan JT 610 telah melakukan kesalahan karena tidak
melaksanakan prosedur sesungguhnya ketika MCAS
aktif. Salah seorang pakar penerbangan bernama John Cox mengatakan bahwa
dititik inilah semua orang bingung, apa sebenarnya MCAS itu? Kecelakaan JT 610 inilah yang mengungkap bahwa ada suatu
sistem bernama MCAS di pesawat boeing
737 MAX yang diciptakan dan diketahui oleh Perusahaan Boeing. John juga
mengkritisi tanggapan boeing yang menyalahkan Kru Penerbangan JT 610, padahal
belum ada yang mengetahui sistem tersebut sebelumnya. John juga mengatakan
bahwa penyebab dari kecelakaan ini adalah adanya kerusakan dari sensor AOA (Angle Of Attack). Sensor ini
berfungsi untuk mengukur sudut hidung pesawat. Karena sensor ini rusak,
sehingga sensor ini mengirimkan sinyal yang salah sehingga MCAS aktif.
MCAS
(Maneuvering Characteristics Augmentation
System) adalah suatu program stabilisasi penerbangan yang dikembangkan oleh
Boeing. MCAS merupakan suatu
perangkat lunak yang terhubung pada AOA.
Saat hidung pesawat naik dan pesawat cenderung akan mengalami stall (kehilangan daya angkat pesawat),
maka sistem MCAS akan bekerja secara
otomatis untuk menurunkan hidung pesawat. Salah seorang reporter bernama Andy
Pasztor, mewawancarai eksekutif senior Boeing dan dikagetkan dengan pernyataan
bahwa pihak Boeing tidak pernah memberitahu, menjelaskan dan memberikan
pelatihan untuk para pilot terkait MCAS
pada Boeing 737 MAX. Alasannya, karena boeing tidak ingin membebani para pilot
terkait informasi-informasi seputar MCAS.
Setelah terjadinya kecelakaan ini, Perusahaan Boeing berjanji akan memperbaiki
sistem MCAS jika memang terbukti
bahwa sistem ini mengalami kerusakan.
Berselang 5 bulan setelah jatuhnya
Lion JT 610, Terjadi lagi kecelakaan pada Ethiopian
Airlines ET 302. ET 302 dijadwalkan terbang dengan rute Bandara
Internasional Addis Ababa, Ethiopia menuju ke Bandara Nairobi, Kenya. Pesawat
ini take off pada pukul 05.38 UTC. Satu menit setelah take off, terjadi keanehan pada AOA sebelah kiri. Data AOA sebelah kiri menunjukkan angka 11,1˚
kemudian tiba-tiba berubah menjadi 35,7˚. Sementara data AOA kanan menunjukkan angka 14,94˚. Beberapa saat setelahnya terus
terjadi keanehan pada nilai AOA
sebelah kiri, sehingga menyebabkan stick
shaker aktif dan alarm peringatan terus terdengar di ruang kokpit. Sesuai
intruksi dari Pilot, Co pilot melaporkan masalah kontrol penerbangan pada
petugas menara kontrol. Awalnya, pesawat diintruksikan naik ke ketinggian 34
ribu kaki, namun kru meminta pesawat untuk kembali ke Bandara Addis Ababa. Maka
setelahnya, pesawat ini diperintahkan untuk kembali ke bandara Addis Ababa.
Ternyata 2 menit setelah pesawat ini take
off, diketahui MCAS aktif selama
10 detik, kemudian mati selama 5 detik dan berulang-ulang. Terdengar dari
rekaman CVR (Cockpit Voice Recorder), Co pilot mengingatkan terkait prosedur
ketika MCAS aktif sesuai dengan
perintah Boeing. Saat itulah kapten menonaktifkan stab trim. Dilakukan dua kali percobaan namun hidung pesawat terus
turun. Jalan satu-satunya untuk menstabilkan pesawat adalah dengan menggerakkan
trim secara manual. Namun, karena
pesawat melaju dengan cepat dan gaya yang terjadi diekor pesawat, pilot tidak
bisa menggerakkan trim secara manual. Alhasil, pesawat terus menukik dan jatuh
dengan kecepatan sekitar 500 knot atau 926 km/jam. Pesawat ini menghantam
sebuah ladang dan membentuk kawah sedalam 10 meter. 157 penumpang di pesawat
ini meninggal dunia. Kecelakaan ini terjadi hanya berselang 6 menit setelah
pesawat lepas landas.
Setelah dua kecelakaan tersebut, FAA (Federal
Aviation Administration) yang merupakan lembaga regulator penerbangan sipil
di Amerika Serikat, tidak melarang Pesawat Boeing 737 MAX untuk terbang karena
mereka harus menganalisa kecelakaan tersebut. Sementara Boeing mengatakan MCAS belum terbukti menjadi satu-satunya
alasan jatuhnya JT 610. Reporter Andy Pasztor kemudian mengungkap larangan
terbangnya 737 MAX pertama kali muncul dari negara Tiongkok, Malaysia,
Singapura, dan beberapa negara lainnya termasuk Amerika. Andy juga menyoroti
mengenai dua kecelakaan 737 MAX ini. Pada Lion JT 610, kru kokpit tidak
mengetahui adanya sistem bernama MCAS
dan ketika masalah terjadi mereka tidak mengetahui prosedur apa yang harus
dilakukan. Sedangkan pada Ethiopian
Airlines ET 302, kedua kru kokpit mengetahui adanya sistem yang bernama MCAS dan melakukan prosedur sesuai
arahan Perusahaan Boeing namun pesawat tetap jatuh. Kemudian salah seorang
pilot suatu maskapai bernama Dan Carey juga menanggapi hal tersebut. Dan Carey
mengaku dikagetkan dengan pernyataan Boeing bahwa AOA tehubung dengan MCAS.
Apabila AOA rusak, maka tiba-tiba
saja MCAS akan aktif. Dan Carey
menyoroti bagaimana mungkin ketika MCAS
aktif namun pilot tidak pernah diberikan pelatihan dan pilot harus bereaksi
kurang dari 10 detik. Menurut Dan Carey, saat terbang, AOA bisa saja rusak akibat ditabrak burung atau balon udara.
Andy Pasztor ini
merupakan narasumber dari film
dokumenter downfall yang akan
mengungkap alasan dari Perusahaan Boeing menciptakan Boeing 737 MAX. Andy mengatakan bahwa Boeing merupakan pelopor di
dunia penerbangan yang mengutamakan kualitas dan keselamatan. Pernyataan
tersebut disetujui oleh Rick Ludtke yang merupakan engineer Boeing. Namun, menurut Michael Goldfarb yang merupakan
analis penerbangan, seluruh reputasi Boeing yang telah dibangun sejak puluhan
tahun ini seperti tiba-tiba lenyap ketika tahun 1996 Boeing Merger atau bergabung dengan McDonnell Douglas, alasannya agar Boeing
dapat tetap kompetitif di dunia penerbangan. Michael juga menyatakan bahwa
Harry Stonecipher yang semulanya merupakan CEO
dari McDonnell Douglas, ketika kedua perusahaan tersebut bergabung, ia berubah
menjadi CEO Boeing. Ia kemudian
merubah perusahaan Boeing lebih kepada bisnis untuk mendapatkan keuntungan
dengan cepat. John Cox mengatakan, diawal-awal mergernya kedua perusahaan ini semuanya berjalan lancar, hingga
kemudian datangnya kompetiter bernama Airbus. Bertahun-tahun Boeing dan Airbus
terus bersaing. Kesuksesan Airbus terus meningkat, bahkan penjualan pesawat
Boeing terkalahkan. Andy Pasztor kemudian mengungkap, pada tahun 2010, Airbus
tiba-tiba saja mengeluarkan pesawat A320 Neo yang hemat bahan bakar. Dari
sinilah Boeing menjadi panik karena mereka tidak memiliki pesawat yang mampu
bersaing dengan A320 Neo. Untuk mengembangkan pesawat mereka membutuhkan waktu
yang lama dan harganya tentu lebih mahal. Michael Goldfarb kemudian menyatakan
muncul lah ide untuk memasang mesin besar pada pesawat Boeing 737 agar pesawat
itu lebih efisien. Pesawat ini hanyalah versi 737 yang diperbaharui karena akan
hemat bahan bakar. Menurut pihak Boeing mereka akan mendapatkan keuntungan,
bukan hanya untuk perusahaan, namun juga pihak maskapai. Boeing tidak
membutuhkan waktu yang lama untuk mendapatkan persetujuan dari FAA karena pesawat ini desain lama yaitu
737. Selain itu, keuntungan bagi pihak maskapai adalah mereka tidak perlu
melakukan pelatihan pilot karena ini adalah pesawat lama.
Strategi dari Boeing ini berhasil
dan Pesawat Boeing 737 MAX banyak dipesan. Dari Downfall, selama 7 tahun Boeing 737 MAX ini terjual lebih dari 5000
unit. Karena mesin pada 737 MAX ini besar, maka mesin tersebut harus diletakkan
lebih keatas dan kedepan. Namun pihak Boeing sebenarnya juga khawatir apabila
hidung pesawat naik dan pesawat mengalami stall.
Maka, dirancanglah sistem MCAS untuk
membantu pilot menstabilkan posisi pesawat jika hidung pesawat naik. Karena MCAS ini adalah sistem baru, maka Boeing
akan mewajibkan pelatihan tambahan untuk sistem itu yang tentu saja akan
memakan banyak biaya tambahan. Sehingga akhirnya Boeing memutuskan untuk
mengatakan pada FAA bahwa MCAS hanyalah pelengkap pada Speed Trim. Karena Speed Trim merupakan sistem yang sudah ada, maka tidak perlu
diadakan pelatihan lagi.
Satu tahun sebelum terjadinya
tragedi JT 610, pihak Lion Air pernah
mengirimkan email kepada Boeing. Isi email tersebut adalah meminta pelatihan
untuk pilot-pilot 737 MAX-nya. Namun, jawaban dari Pihak Boeing saat itu adalah
dengan tegas menyatakan bahwa tidak ada alasan mewajibkan pelatihan simulator
pesawat 737 MAX. Bahkan ada salah satu email dari Boeing yang seolah-olah
mengejek Maskapai Lion Air karena
meminta pelatihan simulator. Alasan boeing menolak melaksakan pelatihan
pilot-pilot pesawat 737 MAX adalah karena mereka harus menambah biaya untuk
pelatihan tersebut.
Banyak pihak mencecar Boeing hingga
kasus ini dibawa ke kongres. Kepala kongres yang bernama Peter Defazio juga
menyelidiki mengenai gagal desain pada sistem MCAS. Ketika ia mendapatkan dokumen-dokumen dari Boeing, menurutnya
memang MCAS ini merupakan desain yang
cacat. Pada 23 Desember 2019, CEO Boeing, Dennis Muilenburg mengundurkan diri
setelah dua kecelakaan pada Boeing 737 MAX. Boeing 737 MAX secara resmi dicabut
izin terbangnya. Kemudian FAA
mencabut larangan ini pada tahun 2020 khusus untuk Amerika. Untuk Indonesia,
larangan itu dicabut pada akhir tahun 2021. Larangan ini dicabut setelah Boeing
dapat memastikan dan melakukan perbaikan pada sistem MCAS serta
melakukan pelatihan-pelatihan untuk para pilotnya.
Sumber: Final Report Lion Air JT 610, Final
Report Ethiopian
Airlines ET 320, Film Dokumenter Downfall,
dan YT Tamara Delv
Penulis : Elvi Derina Safitri, Bidang Kaderisasi HIMAFIS FMIPA UNTAN
0 Komentar